Karya Budi: Kenangan
Karya Budi, yang aku panggil pak Wo, adalah seorang lelaki yang sangat baik. Aku pertama kali mengenalnya saat kelas 4 SD ketika pindah ke Salek. Awalnya aku kira ia garang. Ia memperlihatkan gestur menggorok leher dengan tangannya saat aku melihatnya di depan teras rumahnya. Wajahnya memang terlihat garang, apalagi aku adalah anak pemalu saat itu. Ternyata ia lah yang kemudian menjadi salah satu keluarga terbaikku di Salek. Pak Wo memiliki tiga orang anak. Anak pertamanya, Arieski adalah sahabat dekatku sejak pertama kali aku pindah ke Salek. Aku sangat sering bermaim ke rumahnya. Rumahnya serasa rumah keluargaku sendiri. Aku berbaring, bercerita-cerita dan bermain di sana.
Meskipun memiliki keterbatasan fisik, itu tidak menjadi halangan baginya untuk menafkahi keluarganya. Aku sangat salut! ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi meskipun profesinya hanya seorang nelayan.
Menangkap Ikan
Satu hari, pak Wo mengajakku memasang rawai di sungai batanghari. Itu adalah pertama kalinya aku melaut. Ia, aku, dan Riski berkayuh ke tengah sungai batanghari. Kami memasang rawai di pagi hari dan lalu memanennya di sore hari. Aku sangat senang saat melihat satu per satu kail rawai diangkat. Kami mendapat banyak ikan duri saat itu. Namun, tiba-tiba saat salah satu kail diangkat, terdengar suara aneh dan seketika ada kepala reptil yang tercongak ke permukaan. Aku sangat terkejut dan takut, aku kira itu adalah buaya. Ternyata itu adalah seekor penyu. Itu adalah pertama kali aku melihat penyu asli. Pak Wo lalu melepas penyu itu dan mengikat pelampung, dengan harapan dapat mencarinya nanti setelah mengantar kami pulang ke rumah. Kami berada di sungai batanghari itu hingga magrib.
Tokek
Satu hari, pak Wo dan temannya berniat untuk mengambil tokek di Sungai Dendang. Sungguh itu adalah tindakan yang sangat berani karena sungai dendang itu dipenuhi buaya. Ternyata mereka berhasil dan mendapatkan tokek itu. Ketika tiba di rumah kawannya itu, aku langsung ke sana karena ingin melihat tokek itu. Saat itu adalah pertama kalilnya melihat tokek. Aku juga membawa buku reptil kesayanganku untuk melihat spesies tokek apakah yang berhasil mereka tangkap itu. Namun sangat disayangkan ternyata tokek itu beratnya tidak memenuhi kriteria untuk dijual dengan mahal.
Bermain Udang
Di rumahnya aku sangat senang bermain udang. Sebagai nelayan, ketika pulang melaut ia biasanya membawa banyak udang, mulai dari yang besar hingga yang kecil. Aku sangat senang bermain dengan udang-udang itu.
Satu ketika aku dan riski ingin memelihara belut dan ikan tilan. kami memeliharanya di dalam ember dan meletakkanya di dapur pak Wo. Ternyata, ikan tilan itu mati sedangkan belutnya tetap hidup. Dari situ aku tahu ternyata ikan tilan lebih mudah stres dibanding belut.
Cerita-cerita
Ia mengajakku untuk makan di rumahnya. aku awalnya malu-malu, namun dia bilang hanya orang bodoh yang malu ketika diajak makan, akhirnya aku mau. masakan mak wo pada saat itu sangat enak dan aku menambuh hingga 2 pinggan.
Satu hari ayahku bercerita padanya bahwa sebelum kelahiranku ia bermimpi berjumpa dengan seorang kakek tua yang membawa anak kecil. Kakek itu lalu bertanya apakah engkau ingin melihat nabi Muhammad saat kecil? lalu kakek itu pun memberikan anak laki-laki itu ke ayahku. Mendengar cerita itu, Pak Wo pula bercerita bahwa sebelum kelahiran Riski, ia bermimpi diberi seekor ayam jantan oleh seorang pria tua.
Ia bercerita bahwa satu satu ia pernah terpukul oleh balok kapal yang membuatnya tenggelam di bawah kapal. Namun, ajaibnya ia dapat bertahan hidup meskipun telah beberapa jam terperangkap di bawah kapal itu setelah akhirnya orang-orang menyelamatkannya.
Pak wo bercerita bahwa ia pernah memakan daging harimau. Menurutnya, daging harimau itu bersifat panas dan membuat dirinya gerah setelah memakannya. Ia juga percaya bahwa memakan daging harimau membuat seseorang menjadi lebih pembangkang.
Pak Wo tidak pernah takut dengan buaya ketika melaut. Ia selalu bilang baik buaya maupun dirinya sama-sama mencari rejeki. Ia hanya berharap semoga rejeki buaya itu tidak jatuh pada dirinya. “kite ni same-same nyari rejeki kan, tapi mimang bise je rejeki die tu kite”. Ia bahkan berkata justru di dekat buaya berenanglah biasanya banyak udang-udang berkeliaran.
Tuhan memang adil, meski ia memiliki kekurangan fisik pada kakinya, namun tuhan memberi kelebihan pada tangannya. Ia mampu mengayuh perahu sejauh berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kilometer untuk mencari ikan dan udang untuk menafkahi anak istrinya.
Meski saat itu aku hanyalah seorang anak kecil, ia sangat mendengarkan kata-kataku ketika aku bercerita. Aku pernah berdiskusi mengapa banyak orang sekarang pendek umur, dan bagiku itu karena banyaknya zat kimia aditif pada makanan zaman sekarang. Aku pernah bercerita padanya tentang robot yang tidak bisa menggantikan manusia.
Aku pernah bercerita bagaimana aku mempertahankan pendapatku ketika di kampus aku mendapat pertanyaan lebih dulu kepercayaan atau pengetahuan. Aku bersikeras menjawab kepercayaan. Ia juga bilang bahwa anaknya Rieski berusaha mendebat kepercayaan Muhammdiyah di kampusnya, karena ia berkuliah di salah satu kampus Muhammadiyah. Sangat seru bercerita dengannya.
Pada malam hari sebelum aku pergi ke Jakarta untuk berangkat ke Amerika, aku mengunjungi rumahnya. Entah mengapa hatiku tergerak untuk ke sana malam itu juga untuk berpamitan. Ia bercerita bahwa ia sedang sakit, ia mengeluhkan bagian perut dan hulu hatinya yang pedih. Setelah mendengar ceritanya, sebenarnya aku tidak terlalu kuatir karena ia sebelumnya juga pernah mengalami sakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Malam itu, aku mengatakan pada mereka bahwa aku akan pergi selama dua tahun dan aku berkata “jadi aku bakal pergi selame due tahun, jadi malam inilah kita berjumpe sebelum aku pergi bisok”, aku mengucapkan itu sambil meneteskan air mata. Pak Wo dan mak Wo pun ikut meneteskan air mata dan aku menangais sambil memeluk pak Wo dan kemudian mak Wo. Sangat sedih rasanya mereka yang selama ini mengisi waktu anak-anak dan remajaku, harus aku tinggalkan jauh ke Amerika. Ia perpesan padaku “iye nak, belajarlah baik-baik di sane ye, kejarlah, kejarlah nak cite-cite kau setinggi-tingginye…” momen yang sangat mengharukan saat itu.
Aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras pada Mei 2022, dan kemudian pada Juli 2022 aku mendengar kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Aku terkejut dan sangat sedih, antara rasa terkejut dan tidak percaya. Apa benar ia yang selama ini aku lihat sebagai sosok ceria, sehat, kuat telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya? mengapa engkau pergi ketika aku tengah tak ada di sana pak Wo? aku tak menyangka momen malam itu ternyatalah terakhir kalinya aku melihat engkau. Derai air mataku bercucuran ketika aku di jalan pulang dari kampus ke apartemen.
Kini engkau telah tiada, hanya kenangan kitalah yang tersisa. Engkau akan selalu hidup, kenangan bersamamu, akan tetap ada, akan terus ada, di sana, di ruang waktu, di saat kita bercakap-cakap, bergurau, dan saat engkau mengajariku bagaimana kehidupan ini. Selamat jalan pak Wo, selamat berpulang ke keabadian, terima kasih telah menjadi pak Wo terbaikku semasa hidupmu. Dari anak saudaramu, Irhash.
Comments
Post a Comment